9 Summers 10 Autumns
Malam
itu aku hanya mampu mengulum doa dalam bibirku. Hanya mampu mengayunkan jemari
tanpa tahu siapa yang akan menggapainya. Mereka semakin menjeratku,
tangan besar itu kian mencengkeram erat lengan lemah tak berisiku. Belumlah aku
sempat melihat merah jingga kembang api di langit New York untuk kali
pertamanya, belumlah aku merasakan euphoria hari kemerdekaan negara itu. Justru
sekarang darahku tengah serasa membeku merasakan dinginnya permukaan pisau
lipat dua orang tak ku kenal sewaktu menuju Stasiun Fleetwood.
Malam
itupun akhirnya tak ada nyala merah hijau kembang api yang ku saksikan, tak
ada. Yang tersisa hanya membirunya sudut bibirku dan memerahnya T-shirt yang
kukenakan. Namun, ada nyala lain yang hadir bahkan lebih indah dari merah
hijau kembang api.
Dia
seorang bocah merah putih dan yang satu lagi begitu cemerlang. Dia dan Mbak
Ati.
Semenjak
perjumpaanku dengannya malam itu dia kembali datang, dan kembali lagi. Untuk
berbagai hal, yang pasti dia datang menanti untuk menerima dan memberi.
Sosoknya mengingatkan aku pada diriku di masa kanak – kanak.
Kanak
– kanak yang kuhabiskan di sebuah rumah. Rumah yang ku mengerti bukanlah besar
yang menjadi dambaan, namun bagaimana cinta dan kesederhanaan yang menyatukan.
Di sanalah aku tumbuh dan berdampingan bersama Bapakku, Ibuku, Mbak Isa, Mbak
Inan, Rini, dan Mira. Di rumah beratap anyaman cinta kasih itulah aku tumbuh,
menerobos hujan, belajar pada alam akan kekuatan rumput kecil yang tetap
tangguh walau terinjak dan tak dianggap. Semua itu dari rumahku yang
bertaman walaupun tak luas. Rumah yang membuatku ingin merasakan sedikit ruang
bernama kamar. Ku ceritakan tentang rumahku pada dia di beberapa perjalanan,
jalan – jalan di New York. Jalan yang tak pernah ku kira akan menapakinya.
Perjalanan
di SoHo pagi itu ku habiskan dengan bercerita pada dia tentang bapakku Abdul
Hasim. Ku katakana padanya bahwa bapakku adalah seorang sopir angkot di jalan –
jalan di sekitar Batu Malang. Bapak yang kini usianya tak lagi muda, bapak yang
kini beruban, bapak yang dulu berjuang mati matian untuk bisa membeli mobil
sendiri demi kekuatan keluarga yang harus dipertahankan. Diatas Brooklyn
Bridge sosok bapak yang pernah jatuh dan bangkit itu tergurat. Ku peluk dia
yang berseragam merah putih, dan aku hanya mampu berbisik “aku kangen bapak”.
Hari
berikutnya selepas kelas Yoga ku peluk dia yang menemuiku. Seperti ada
ketergesaan yang ingin ia tanyakan, dan teryata tentang ibuku. Ibu Ngatinah
yang begitu bercahaya. Malaikat kombinasi cinta kasih, keserhanaan, dan
ketegaran yang kuat. Pada bagian ini bagaimanapun aku akan menangis, ku ingat
detil bagaimana ia yang tak bersekolah tinggi itu begitu lihai mengatur semua
yang bisa menyelamatku. Semua yang mungkin bisa mengantarkanku agar terbang
atau mendayung kapalku. Dialah angin yang mampu mendorong laju layar kapalku
yang berkali – kali hampir berhenti dan kehilangan arah. Ibuku yang paling
hebat. Puisi hidupku!
Kesempatan
berikutnya pada bocah berseragam merah putih itu ku ceritakan pula kekuatan
besar Mbak Isa yang membuka segala awal mimpi dengan segenap prestasi yang Mbak
Isa miliki. Sekarang mbak Isa menjadi guru SD. Ku ceritakan sastra yang indah
dari Mbak Inan, Mbak yang mengajariku banyak hal. Bahkan selanjutnya, meski
dia tak datang ku tuliskan kisah tentang teman setiaku, adik perempuan
pertamaku Rini. Hingga ku sambung kisah tentang adikku Mira, yang terindah.
Mira yang kini menjadi dokter hewan, gadis pejuang yang hebat.
Ku
katakan pada dia lagi, bahwa mereka semua adalah pelangi dalam rumahku. Meski
atap rumahku kadang mendung dan hujan, namun semua itu ku yakin akan berganti
dan menjadi indah . Mereka adalah cahaya matahari yang menrefleksikan cinta.
Mereka adalah matahari yang menrefraksikan kekuatan. Mereka adalah matahari
yang mendifraksikan kegembiraan. Hingga tercipta pelangi indah dalam rumah
kami.
Hari
itu musim gugur saat ku ceritakan tentang suka cita Bapak ketika kelahiranku.
Selepas ku puaskan kegemaran baruku, membaca. Ku tuliskan surat tentang aku
karena berhari – hari ia tak datang. Ku tuliskan aku yang kecil dalam rumah 6 x
7. Aku yang sering bersungut ketika tetangga berbondong – bondong hendak ikut
menonton televisi di ruang keluarga yang kala itu sekaligus tempat tidurku,
tempat belajar dan bermainku. Aku yang menghabiskan waktuku untuk berkutat
bersama buku. Track record perjalanan pendidikanku hingga mengingat cita
– cita tiruanku sebagai handship. Bahkan tentang mimpi dan ruang baru yang
teretas dari pesona teater.
Kemudian
ku kisahkan ceritaku yang berhasil masuk jurusan statistika IPB lewat jalur
PMDK hingga super tour masa KKN. Tak ketinggalan tentang segala badai
yang menerpa kapalku. Masa yang mana aku harus bertahan dengan keterbatasan,
dengan penghabisan dan pinjaman yang membuatku pernah mengungkapkan ku ingin
kerja di kawasan “Blok M”.
Keretakan
perjalanan yang ku ukir bagai relief, terlebih ketika aku akhirnya lulus dan
menagih janji perubahan. Menyambut profesi di Nielsen Jakarta, berlanjut ke
Danareksa, hingga aku terbang ke Amerika dan berjumpa dengan Mbak Ati.
Kemudian
dia tersenyum, saat ku ceritakan tentang Aundrey. Wanita yang ku kenal di kelas
yoga yang diampu guru spiritualku Rima. Wanita yang sempat ku sediakan yoga
mat bersebelahan denganku, wanita yang kemudian pergi sebelum musim gugur
datang menjemput.
Di
waktu lain, ku ceritakan pula tentang sesuatu. Ini bukan kisah cinta.
Ketika itu autumns, ketika itu dia yang datang ke New York, ketika itu dia yang
ku sebut Kalista menetap selama delapan hari. Gadis yang ku kenal dari facebook
itu, yang menghabiskan enam hari berkunjung ke Central Park. Gadis yang
kemudian pergi kembali melanjutkan perjalanannya, yang sempat mengatakan Iwill
miss you bukan I love you bukan juga good bye.
Hingga
akhirnya kerinduanku pada Batu dan rumah membuncah, menyeruak dari sela – sela
kesibukanku menjadi Director, Internal Client Management dia berkata
akan pergi. Entah kenapa, setiap ku tanyakan ia hanya berkata bahwa aku telah
lebih dari kuat dan dia akan meninggalkanku.
Sampai
suatu hari ketika aku akhirnya kembali ke tanah air, ke Indonesia. Dia ikut
bersamaku berjumpa Bapak, Ibu, mbak Isa, Mbak Inan dan lainnya termasuk
rumahku. Ia melihatku memperagakan yoga pada mereka, ia tersenyum. Hingga
kemudian aku mengajaknya mendaki Rinjani. Ada selaksa yang tak pernah bisa ku
tuliskan, ada sebuah ruang yang seketika menjadi begitu damai. Ruang yang
kemudian mengatakan semua telah berubah dan akan baik lebih baik dari
sebelumnya. Ruang yang kemudian mengendap bersama sesuatu yang lain yang saling
bicara dalam diam dan kebahagiaan. Ketika itulah dia pergi, dengan tenang dan
guratan yang sempurna di puncak Rinjani.
Ketika
semua yang menjadi mimpi terdaki. Ketika waktu berjalan, ketika musim berganti.
Ketika hati berbicara untuk kembali, saat itulah 9 summers 10 autumns terpungkasi
namun tak berakhir.
“Impian harus menyala dengan apapun
yang kita miliki meskipun yang kita miliki tidak sempurna, meskipun retak
retak”-9 summers 10 autumns (Iwan
Setyawan)–(Arf)